Kamis, 14 April 2011

MODEL ATAU TAHAPAN PROGRAM PENYULUHAN

A. Model atau tahapan proses penyusunan program penyuluhan
Ada beberapa model proses penyusunan program penyuluhan, yaitu :
1. Model Proses Penyusunan Program Penyuluhan Menurut Leagans:
Model Leagans merupakan salah satu dari beberapa model proses program penyuluhan. Sebagaimana model-model lainnya, model ini pada hakekatnya berupa model instruksional yang memuat komponen-komponen situasi, masalah, tujuan, dan cara untuk mencapai tujuan (S-M-T-C).
Secara rinci model proses penyusunan program penyuluhan menurut Leagans menggambarkan kegiatan penyuluhan, yaitu perumusan keadaan dan masalahnya, pemecahan masalah dan tujuan, perencanaan pendidikan, Evaluasi dan rekomendasi.
Mengutip Leagans, lima langkah dalam proses perencanaan program penyuluhan itu dapat diuraikan sebagai berikut:
(a) Perumusan keadaan dan masalahnya. Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap situasi. Untuk itu diperlukan fakta-fakta yang menyangkut seluruh aspek dari situasi dalam jumlah yang besar. lnformasi yang diperlukan adalah berkaitan dengan sasaran penyuluhan seperti minat, pendidikan, kebutuhan, adat-istiadat, kebiasaan dan tradisinya. Kemudian diperlukan pula fakta mengenai situasi fisik seperti keadaan tanah, tipe usahatani, pemasaran, skala usahatani, pola tanaih, kondisi rumah, pelayanan masyarakat, dan saluran komunikasi.
(b) Pemecahan masalah dan tujuan. Pada tahap kedua ini, pemecahan masalah dan perumusan tujuan ditetapkan. Untuk kepentingan psikologis sasaran penyuluhan itu harus dilibatkan dalam penetapan tujuan dan sasaran penyuluhan. Sasaran dalam perencanaan penyuluhan pal¬ing tidak harus mengkondisikan perubahan perilaku orang sebagaimana keluaran sosial maupun ekonoini yang diinginkan.
(c) Perencanaan pendidikan. Pada tahap yang ketiga ini merupakan tahap mengajar yang meliputi:
1. Mated yang perlu diajarkan.
2. Cara yang harus dilakukan untuk mengajar.
Pada dua tahap pertama, secara inherent menciptakan kesempatan mengajar, pada tahap ini tugasnya adalah menciptakan situasi belajar. Penggunaan beberapa metode komunikasi yang berbeda disengaja untuk merangsang tindakan belajar. Dapat dipilih berbagai metode seperti media massa, kelompok dan interpersonal. Kemampuan untuk memilih dan menggunakan metode yang paJing baik untuk tujuan-tujuan khusus merupakan ukuran keberhasilan seorang penyuluh.
(d) Evaluasi. Tahap keempat ini adalah mengevaluasi tindakan mengajar tersebut. Hal ini juga akan menjadi ujian mengenai cara yang secara akurat dan jelas tujuan dipilih dan dikondisikan. Perencanaan untuk evaluasi perlu dibangun menjadi perencanaan kerja selama tahap-tahap sebelumnya. Perbedaan dibuat antara prestasi yang hanya dicatat saja dan perbandingan hasil dengan tujuan asli. Proses evaluasi dapat dilakukan secara sederhana dan in¬formal atau dapat pula secara formal dan kompleks.
(e) Rekonsiderasi. Tahap kelima adalah mempertimbangkan perencanaan penyuluhan setelah evaluasi dilakukan. Tahap ini memuat suatu tinjauan upaya-upaya yang dilakukan sebelumnya dan hasil-hasil yang menampakkan situasi baru. Apabila situasi baru menunjukkan kebutuhan akan kegiatan lebih lanjut, selanjutnya proses keseluruhan akan dimulai lagi dengan tujuan baru maupun tujuan yang dimodifikasi, maka proses tersebut akan bersambung. Situasi baru mungkin berbeda, hal ini dapat disebabkan karena:
1. Orang-orang telah berubah.
2. Telah terjadi perubahan secara fisik, ekonomis dan sosial.
3. Penyuluh disiapkan dengan lebih baik daripada sebelumnya dalam menyadari adanya kebutuhan maupun minat yang baru dari kliennya.

2. Model Proses Penyusunan Program Penyuluhan Menurut Kelsey dan hearne (1962) :
Model Kelsey dan Hearne menggambarkan kegiatan penyuluhan sebagai suatu siklus yang terdiri atas tujuh tahapan, yaitu (1) analisis situasi, (2) organisasi perencanaan, (3) proses perencanaan program, (4) program yang telah direncanakan, (5) rencana kerja, (6) pelaksanaan rencana kerja, dan (7) evaluasi.
3. Model Proses Penyusunan Program Penyuluhan Menurut KOK(1962)
Model KOK ini didasarkan atas kenyataan yang terjadi di lapangan. Terdiri atas sembilan tahapan, yaitu (1) survai, (2) analisis situasi, (3) identifikasi masalah, (4) penetapan aUfirnatif pemecahan masalah, (5) penentuan tujuan dan ruang lingkup peTmasalahan, (6) penyusunan rencana kerja, (7) pelaksanaan rencana kerja, (8) evaluasi, dan (9) rekonsiderasi.
4. Model Proses Penyusunan Program Penyuluhan Menurut Raudabaugh (1967):
Model perencanaan ini terdiri atas lima tahapan kegiatan yang berupa suatu siklus. Lima tahapan ini adalah (1) 'dentifikasi masalah, (2) penentuan tujuan, (3) pe-ngembangan rencana kerja, (4) penetapan rencana kerja, dan (5) penentuan kemajuan.
5. Model Proses Penyusunan Program Penyuluhan Menurut Passon (1966):
Model ini dibedakan ke dalam dua area kegiatan, yaitu area perencanaan program, yang terdiri atas empat tahap kegiatan, yakni (1) pengumpulan fakta, (2) analisis situasi, (3) identifikasi masalah, dan (4) penetapan tujuan. Dalam pada itu area pelaksanaan program, meliputi (5) penyusunan rencana kerja, (6) pelaksanaan rencana kerja, dan (7) .penentuan kemajuan. Kegiatan (8) rekonsiderasi merupakan tahap antara yang menghubungkan area kegiatan perencanaan dan area kegiatan pelaksanaan program.
Secara singkat, tahap-tahap perencanaan dari Model Pesson tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan kegiatan pengumpulan data-data dasar atau fakta yang diperlukan untuk menentukan masalah, tujuan, dan cara mencapai tujuan atau kegiatan yang akan direncanakan, Data-data tersebut meliputi: sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, teknologi yang telah digunakan, dan peraturan yang ada.
(2) Analisis keadaan
Tahap ini merupakan tahap penganalisisan data yang diperoleh dari lapangan, termasuk di dalamnya menganalisis sumber daya yang potensial untuk dikembangkan, perilaku masyarakat sasaran, keadaan yang ingin dicapai dan yang sudah dicapai, dan sebagainya.
(3) Identifikasi masalah
Tahap ini m erupakan upaya merum uskan faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang dikehendaki. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan menganalisis kesenjangan antara data potensial dengan data aktual, antara keadaan. yang ingin dicapai dengan yang sudah dicapai, dan sebagainya. Kesenjangan-kesenjangan ini kemudian diinventarisir dan disusun berdasarkan prioritas.
(4) Perumusan tujuan
Dalam tahap perumusan tujuan yang harus diperhatikan adalah realistisnya tujuan yang hendak dicapai, ditinjau dari kemampuan sumber daya (biaya, jumlah dan kualitas tenaga) maupun waktu yang tersedia.
(5) Penyusunan rencana kegiatan
Tahap ini merupakan penyusunan rencana kerja yang meliputi penjadwalan, metoda yang digunakan, pihak-pihak yang terlibat, lokasi kegiatan, bahan dan peralatan yang dibutuhkan, pembiayan dan sebagainya.
(6) Pelaksanaan rencana kegiatan
Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan dari rencana kerja yang telah disusun. Masalah utama yang harus diperhatikan dalam tahap ini adalah partisipasi masyarakat sasaran. Oleh karenanya perlu dipilih waktu yang tepat, lokasi yang tepat, agar masyarakat ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan.
(7) Menentukan kemajuan kegiatan
Tahap ini merupakan kegiatan monitoring pelaksanaan kegiatan yang dilakukan, untuk melihat sejauh mana tujuan telah dicapai.
(8) Rekonsiderasi
Rekonsiderasi dimaksudkan untuk meninjau kembali rumusan program, termasuk kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Pada tahap ini dilihat hal-hal yang menjadi kendala atau sebaliknya keberhasilan yang dicapai, dalam rangka menyusun program berikutnya.
6. Menurut Suzetta (2007)
Sebagai cerminan lebih lanjut dari demokratisasi dan partisipasi sebagai bagian dari good governance maka proses perencanaan program pembangunan juga melalui proses partisipatif. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali dari kesadaran bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan masyarakat sangat ditentukan oleh semua pihak yang terkait dengan prakarsa tersebut. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif istilah menjadi sangat meluas dan akhirnya dianggap sebagai idiom model ini. Berbagai model perencanaan partisipatif, maka Perencana menjadi fasilisator masyarakat, berperan untuk mempromotori partisipasi masyarakat dalam pencarian pemecahan. Yang perlu ditekankan disini adalah pendekatan ”dari bawah ke atas (bottom up)” dan berusaha memberi wewenang masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Pusat beban perencana dipindahkan dari pemerintah dan penguasa kota kepada masyarakat.
Beberapa model perencanaan yang dipilah berdasarkan proses perencanaan teknokrat/top down, bottom up dan partisipatif sebagai berikut:
a. Perencanaan Teknokrat/ Top down
1) Model Perencanaan Rasional Komprehensif (Rational Comprehensive Planning)
Dasar dari model perencanaan ini adalah menekankan pada kemampuan akal pikiran dalam memecahkan problem-problem yang berkembang dan terjadi dalam masyarakat. Problema yang ada dipecahkan melalui pendekatan ilmiah dalam analisisnya sehingga permasalahan-permasalahan dapat dicarikan solusinya secara cermat serta tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.
Kelebihan dari model ini sebagai berikut:
a) Bersifat ”keahlian” karena itu seorang perencana dituntut memahamai perencanaan baik dari sisi teknis maupun filosofi.
b) Pada umumnya perencanaan model ini dilakukan bersifat perorangan, namun tidak menutup kemungkinan bersifat kolektif atau kelompok dengan asumsi kepentingan individu menyesuaikan kepentingan kelompok.
c) Karakter dasar perencanaan bersifat komprehensif (menyeluruh), yakni mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga semua masalah ingin coba diselesaikan.
Kekurangan model ini adalah:
a) Kurang dapat memperhitungkan sumber daya yang tersedia, karena berasumsi bahwa sumber daya dapat dicari dan diusahakan.
b) Pembuat keputusan dipegang para ahli/perencana sedangkan masyarakat hanya diberikan sedikit peran, biasanya hanya dalam bentuk publik hearing yang sifatnya serimonial. Dalam hal ini perencana menganggap paling tahu atas segala permasalahan
c) Perencanaan bersifat reduksionisme, determenistik dan obyektif sehingga bersifat sektoral.
Contoh model perencanaan rasional komprehensif adalah dalam Penyusunan Dokumen Tata Ruang Wilayah.
2) Model Perencanaan Induk (Master Planning)
Perencanaan induk (master planning) biasanya diterapkan pada perencanaan komplek bangunan atau kota baru secara fisik. Dibandingkan dengan perencanaan komprehensif yang dilakukan scara multi-disiplin, maka perencanaan induk umumnya dilakukan secara satu disiplin, misal arsitektur. Keduanya, perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak fleksibel—seakan masa depan sangat pasti.
3) Model Perencanaan Strategis (Strategic Planning)
Perencanaan strategis umumnya dipakai dalam organisasi yang bersifat publik. Model-model perencanaan strategis diaplikasikan di bidang usaha (bisnis) karena diperlukan untuk merencanakan perusahaan secara efektif dalam mengelola masa depan yang penuh dengan ketidakpastian (Kaufman dan Jacobs, 1996).
Kelebihan model ini adalah bersifat komprehensif karena semua aspek dikaji tetapi hanya berkaitan dengan isu strategis, hasil kajiannya bersifat menyeluruh, bukan hanya aspek fisik serta mempehitungkan sumber daya yang tersedia.
Kelemahan perencanaan strategis terletak pada keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia organisasi yang tidak merata sehingga tidak semua memahami visi dan misi organisasi. Dalam pencermatan lingkungan internal dan eksternal organisasi harus dilakukan oleh anggota organisasi yang berpengalaman dan mengenal betul karakter organisasi, sehingga mampu mengetahi isu-isu organisasi yang strategis.
Contoh model perencanaan strategis adalah dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), serta Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD).
4) Model Perencanaan Incremental
Model perencanaan yang dilakukan didominasi oleh proses lobi-lobi politik yang sempit, tidak menggunakan pendekatan ilmiah (rasional) dalam aktifitasnya.
Kelemahan perencanaan incremental adalah asumsinya bahwa kondisi masyarakat adalah pluralis yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Pengkritik paham incremental memperdebatkan bahwa masyarakat didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang melakukan kompetisi tidak adil dan tidak demokratis. Dalam hal ini nantinya kelompok masyarakat pemenang saja yang terwakili dalam perencanaan.
Contoh dari perencanaan model inceremental adalah dalam penentuan plafon belanja kota/daerah dengan mengestimasi bahwa kenaikan anggaran belanja berkisar 10 persen pada tahun perhitungan, hal ini mendasarkan pada realisasi anggaran pada tahun sebelumnya dengan menyesuaikan besarnya inflasi dan jumlah penduduk.
b. Perencanaan Bottom up
Model musyawarah, mulai dari MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa), MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan), MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten).
c. Perencanaan Partisipatif
1) Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Teknik untuk menyusun dan mengembangkan program yang operasional dalam pembangunan desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasi sumberdaya manusia, alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat peningkatan produktivitas, menstabilkan dan meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mampu pula melesetarikan sumber daya setempat.
Metode ini menekankan adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifikasian masalah sampai penentuan skala prioritas.
Teknik PRA antara lain: (1) Secondary Data Review (SDR)- Tinjau Data Sekuder; (2) Direct Observation-Observasi Langsung; (3) Semi-Structured Interviewing (SSI)-Wawancara Semi Tersruktur; (4) Focus Group Discussion (FGD)-Diskusi Kelompok Terfokus; (5) Preference Ranking and Scoring; (6) Direct Matrix Ranking; (7) Peringkat Kesejahteraan; (8) Pemetaan Sosial; (9) Transek (Penelusuran); (10) Kalender Musim; (11) Alur Sejarah; (12) Analisa Mata Pencaharian; (13) Diagram Venn; (14) Kecenderungan dan Perubahan.
2) Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Pengumpulan informasi dari pihak luar (outsider), kemudian data dibawa pergi, dianalisa dan peneliti tersebut membuat perencanaan tanpa menyertakan masyarakat. RRA lebih bersifat “penggalian informasi”, sedangkan PRA dilaksanakan bersama-sama masyarakat, mulai dari pengumpulan informasi, analisa, sampai perencanaan program.
3) Metode Kaji-Tindak Partisipatif
Esensinya menunjuk pada metodologi Participatory Learning and Action atau belajar dari bertindak secara partisipatif; belajar dan bertindak bersama, aksi refleksi partisipatif. Penggunaan istilah PLA dimaksudkan untuk menekankan pengertian partisipatif pada proses belajar bersama masyarakat untuk pengembangan. Kajian partisipatif menjadi dasar bagi tindakan partisipatif. Jika dari suatu tindakan terkaji masih ditemui hambatan dan masalah, maka kajian partisipatif diulang kembali untuk menemukan jalan keluar, demikian seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar